Sabtu, 06 Februari 2010

Ditentang Sesama Punkers Tapi Dilirik Politisi



Jakarta - Dengan gitar kayu kesayangannya, Lutfi mengadu nasib ke Jakarta pada tahun 2004. Di ibu kota, dia lalu mengikuti jambore anak punk dan anak jalanan yang diselenggarakan Komunitas Warung Udik, sebuah rumah singgah bagi para anak-anak jalanan yang didirikan Budi Khoyroni.

Pemuda asal Jombang, Jawa Timur tersebut rupanya merasa kerasan bergaul dengan anak-anak yang tinggal di Warung Udik. Lutfi merasa ada suasana lain. Lutfi tak sekadar mendapat tempat berteduh. Ia juga diajari tekhnik bermain gitar yang baik oleh Budi Khoyroni.

"Kalau dulu saya main gitar ala kadarnya. Bisa satu dua lagu sudah cukup yang penting bisa ngamen di terminal dan simpang tiga Jombang," jelas Lutfi kepada detikcom, Kamis (4/1/2010) di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur.

Lutfi mengaku sudah hengkang dari rumah orang tuanya di Desa Denanyar, Jombang sejak dia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Sejak itu dia tidak lagi pulang ke rumah dan bersekolah. Lutfi memilih hidup di jalan dan terminal bersama anak-anak jalanan dengan gaya hidup punk-nya. Banyak yang dipelajari Lutfi sejak berkenalan dengan Budi. Pelan-pelan Lutfi bisa berhenti dari kecanduan putaw.

"Bimbangan teman-teman dan Mas Budi banyak membantu saya lepas dari narkoba. Saya sangat berterima kasih karena itu," ujar Lutfi yang kini menjadi gitaris di grup band Punk Muslim.

Pengalaman yang sama juga dialami Asep, pemuda asal Luragung, Kuningan, Jawa Barat. Asep minggat dari rumah sejak kelas 4 SD dan hidup di jalanan Kota Cirebon. Selanjutnya, ia melanglang buana ke Jakarta, Bogor, dan Bandung. Di Jakarta, ia sering mangkal di bawah jembatan layang Fatmawati.

Asep mulai mengenal Komunitas Warung Udik sejak 2006, yakni saat Jambore Anak-anak Jalanan ke 2 yang digelar komunitas tersebut. Dari situ ia bergaul dengan anak-anak punk yang lain dan mendampat bimbingan dari Budi. Saat ini Asep menempati posisi sebagai vokalis di grup Punk Muslim.

Bagi Asep, Lutfi dan anak-anak punk yang sering nongkrong di Warung Udik, sosok Budi dianggap sebagai orang tua dan guru. Pria berambut panjang ini sangat disegani oleh anak-anak jalanan di Jakarta, khususnya yang sering mangkal di kawasan Pulogadung.

Namun sayang, Budi meninggal dunia karena kecelakaan sepeda motor di daerah Kebon Nanas, Jakarta Timur pada 23 Mei 2007. Sejak itu, anak-anak punk yang sering mangkal di Warung Udik merasa sangat kehilangan figur yang dihormati dan disegani.

Beruntung sepeninggal Budi, masih ada Ahmad Zaki, kawan akrab Budi yang sering ikut nongkrong di komunitas tersebut. Zaki memang bukan anak punk melainkan seorang relawan LSM yang peduli terhadap anak-anak jalanan. Namun karena sebelumnya ia akrab dengan Budi, mau tidak mau para anak punk tersebut menghormatinya juga.

Untuk mempengaruhi anak-anak punk memang bukan perkara gampang. Sebab selain mereka sangat kompak, kehidupan mereka sangat bebas. Mereka hanya tunduk pada aturan komunitas yaitu tidak ada aturan sama sekali. "Saya bisa berada di antara mereka karena akrab dengan pentolannya. Ibarat ular, kalau kepalanya sudah dipegang seluruh tubuhnya dapat dikuasai," ujar Zaki saat ditemui detikcom di studio rekaman indie label.

Karena kekompakan anak-anak punk ini, banyak politisi yang melirik mereka untuk mendulang suara pada pemilu. Beberapa bahkan ada yang dibujuk untuk menjadi caleg sejumlah partai. Para politisi berharap dengan menjadikan anak punk sebagai caleg, mereka bisa menyedot dukungan dari anak-anak jalanan yang lain yang jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan orang. Namun keinginan para politisi itu ditolak mentah-mentah.

"Kami memilih hidp di jalanan untuk menghindar dari aturan formal. Bagaimana mungkin kami menjadi politisi," ujar Darma yang sempat ditawari jadi caleg oleh Partai Hanura dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Diakui Darma, di negara asal punk di Inggris, komunitas punk merupakan sebuah gerakan sosial anak-anak kaum pekerja yang muak dengan kediktatoran penguasa yang mermazhab kapitalis. Namun mereka hanya melakukan gerakan perlawanan dalam lagu dan gaya hidup mereka yang bebas dan tidak terikat aturan negara maupun masyarakat borjuis. Sementara di Indonesia, anak-anak punk lebih banyak mencontoh gaya hidupnya saja bukan pada gerakan sosialnya.

"Harusnya anak-anak punk mengambil tempat dalam memprotes setiap tindakan penggusuran terhadap PKL dan kaum-kaum marjinal yang lain," jelasnya.

Karena ketidakjelasan arah komunitas anak-anak punk yang ada di Indonesia, komunitas punk Warung Udik akhirnya mencetuskan Punk Muslim. Namun gerakan yang dilakukan Punk Muslim bukan terhadap pemerintah atau masyarakat. Mereka lebih menyoroti ke dalam diri mereka masing-masing.

"Bagaimana kita bisa mengubah sebuah kedzaliman dari penguasa, kalau kita sendiri tidak melakukan perubahan dalam diri kita masing-masing. Untuk itu kami mendirikan Punk Muslim sebagai bentuk kepedulian terhadap masing-masing anak punk," terang Zaki.

Memang hadirnya Punk Muslim tidak serta merta diterima anak-anak punk yang ada di Indonesia. Mereka menganggap komunitas punk tidak menganut azas ke-Tuhanan. Tapi bagi komunitas Punk Muslim, yang jumlahnya sekitar seratusan anak jalanan ini, penentangan itu bukan masalah.

Revolusi diri yang diusung Punk Muslim targetnya hanya anak-anak jalanan yang ikut dalam komunitas ini. Mereka tidak bertujuan berdakwah pada anak-anak punk yang lain sekalipun ada beberapa komunitas punk di sejumlah daerah mengundang mereka untuk memberikan pencerahan.

"Sejumlah komunitas punk, seperti di Indramayu, Makassar, dan Medan mengharapkan kedatangan kami ke daerah mereka. Tapi karena kami masih banyak kesibukan kunjungan tersebut kami tunda dulu," terang Zaki. Pastinya, para anggota Punk Muslim berharap bisa menjadi oase bagi anak-anak jalanan yang selama ini dianggap sebagai pengganggu dan sampah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar